Minggu, 05 November 2017

Anggur Merah untuk Makan Malam -part 01-

Genre : romance, drama, psycological
.
 Rate : adult
 Warning
 - materi cerpen untuk dewasa! 
- bagian percakapan dwibahasa
. 
Part one-- 
Pertemuan kecil mereka berdua 
 . . . 
 Alicia tersenyum saat ia memasuki ruangan itu. Sebuah senyum sensual yang menggoda para lelaki dan bagi para wanita berbisik-bisik iri. Alicia sadar kalau dirinya menarik. Dengan tinggi 163 cm, leher jenjang dan pinggang ramping, tubuhnya melekuk tepat membentuk tubuh indah yang diidamkan wanita lain. Rambut coklat tuanya kontras dengan kulitnya yang putih, meningkatkan kesan kulit yang halus dan lembut. Matanya memang termasuk kecil, namun bulu matanya yang lentik dapat mengatasi hal tersebut. Hidung yang mancung, pipi merona, serta bibir tipis yang diwarnainya dengan pewarna gincu merah berhasil membuat setiap orang meliriknya setidaknya sekali di malam itu.
 Sebuah lambaian tangan berhasil menangkap perhatian wanita muda itu. Rupanya, teman-temannya sudah berkumpul lebih awal dari yang diperkirakannya. Satu hal yang menarik pandangan Alicia, sebuah kue berukuran sedang, dihiasi lilin yang menyala berbentuk angka 27. Tak menyangka dengan kejutan kecil yang diterimanya, senyum Alicia kini berkembang penuh.
 "Hey, dear. Happy 27th birthday!" ucap Sheila sambil mengecup pipi Alicia begitu wanita itu sampai di meja tempat teman-temannya telah berkumpul. 
Ucapan itu segera ditimpali oleh Erick, "well, who's getting older but still single now?"
 Tawa kini memenuhi meja itu. Alicia tersenyum kecut. Walau ia yakin Erick mengucapkannya sebagai guyonan, tapi Alicia sadar kalau ucapan itu sekaligus menyindirnya. Dari wajahnya, ia mungkin terlihat bagaikan wanita diawal 20an tapi usianya tidak demikian. Dibandingkan Erick yang telah menikah atau bahkan Sheila yang telah dikaruniai seorang putri yang lucu, menjalin hubungan serius bahkan tidak pernah terlintas di benaknya.
 Menggembungkan pipinya, seperti yang biasa dilakukannya ketika ia kesal, Alicia berusaha membalas "I might be single, but I'm--"
 Sebelum Alicia menyelesaikan kalimatnya, wanita itu merasakan badannya ditarik lembut. Masih terkejut, kini, sebuah tangan membimbing dagunya, dan selanjutnya yang Alicia sadari, sebuah ciuman sudah mendarat diatas bibirnya. Awalnya, Alicia hendak memberontak, namun setelah sadar siapa orang kurang ajar yang berani menyentuhnya tanpa izin, Alicia segera membalas ciuman yang diterimanya. Wanita itu tak lagi memperdulikan teman-temannya yang kini sudah menyorakinya.
 Setelah mengakhiri ciuman mereka, Leon, orang itu berbisik kepadanya, "hmm... great kiss, as always." Bisikan itu mau tak mau membuat rona kemerahan di pipi Alicia semakin jelas, terlepas pencahayaan di club itu yang remang-remang.
 Puas dengan reaksi wanita dipelukannya itu, Leon kini menatap yang lain sambil menyeringai. "Siapa yang bilang wanita manis ini single? She has me here." Ucap pria itu dengan percaya diri. 
Seakan setuju dengan ucapan Leon, Alicia tersenyum manis, dan mendaratkan kecupan ringan di bibir pria itu. 
"Hei, hei, bagaimana kau bisa bilang begitu, Leon? Kalian berdua bahkan tidak pacaran." Ucap Adrian, suami Sheila, sambil menghela nafas ringan. "Jangan bilang kau berencana menghabiskan sisa hidupmu dengan playboy ini?" katanya sambil menunjuk Leon.
 Leon sudah siap membuka mulutnya, namun Alicia meletakkan jari telunjuknya itu didepan bibir Leon, mengisyaratkan agar pria itu membiarkan Alicia yang menanggapi. Leon menatap Alicia sedikit ragu, namun senyum percaya diri Alicia membuatnya menyerah dan membiarkan sang wanita yang menjawab pertanyaan itu.
 "Well, he's a handsome boy, at least... I’m content with my life now..." Ucap Alicia smbil menatap Adrian tajam, menandakan gadis itu tak ingin melanjutkan topik itu.
 Paham dengan keinginan temannya itu, Adrian hanya tersenyum simpul. "Alright, if you happy then..." kalimat itulah yang mengakhiri pembicaraan terkait topik itu. 
Pekerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini membuat Alicia menumpahkan rasa lelahnya pada wine yang ditegaknya. 
Setelah menghabiskan gelas wine-nya yang ketiga, Alicia baru menyadari ada wajah tak dikenal diantara teman-temannya itu. Seorang pria, Alicia menaksir usianya tak lebih dari 35 tahun, dengan rambut terpotong pendek, memastikan pemiliknya selalu rapi. Pria itu tak menyembunyikan raut tak nyamannya yang dibingkai dengan kacamata persegi yang cukup tebal, otomatis menyembunyikan warna irisnya, yang membuat Alicia penasaran. Tidak kumis ataupun janggut yang menghiasi wajah pria tersebut. Ia mengenakan kemeja dengan celana panjang dengan rapi, terlalu rapi malah, mengingat tempat ini adalah sebuah klub malam. Hal terakhir yang disadari Alicia adalah jam tangan analog bermodel sederhana yang melingkari pergelangan tangan kiri pria itu. Dengan mata yang menatap sekelilingnya dengan pandangan bosan, pria itu tampak seperti seorang pelajar teladan yang salah memilih tempat untuk membaca buku pelajarannya.
Well, tampang pria itu bukan tipe favorit Alicia, tapi ekspresi orang itu yang membuat sang wanita tertarik.
 "Aku baru sadar ada wajah yang tak ku kenal di sini..." pancing Alicia. Nada bicara pnya yang santai menyembunyikan rasa penasarannya yang tinggi.
 "Oops, right. He's my cousin, Julian." Jawab Leon. Kemudian dia melanjutkan, "dia baru balik ke Indo setelah menyelesaikan gelar doktornya, he’new here, ku pikir tak ada yang salah dengan mengajaknya, to socialize." Jelas pria itu lagi.
 Alicia memasang ekspresi pura-pura kecewa, "you should've told me before if your cousin gonna come..." 
"Sorry hun, it's just... I forget about it." Leon berusaha menunjukkan raut menyesal. Pria itu mengecup bibir Alicia lembut, berusaha meminta maf dengan caranya. 
Setelah membalas kecupan Leon, Alicia mendekat ke arah Julian, tak lupa senyum sensual yang biasa ia gunakan jika ia ingin menarik perhatian laki-laki. Ia mengulurkan tangannya, yang disambut dengan jabat tangan oleh pria itu.
 "Julian Susanto." 
 "Alicia Wijaya. Nice to meet you, Julian." Balas Alicia, basa-basi.
 "Um, well happy birthday Alicia. Sorry I don’t get you any present." Ucap Julian sedikit kaku.
 “Well, it’s all right.” Dalam hatinya Alicia tertawa geli melihat tingkah Julian yang cenderung awkward. Namun, ternyata, tidak sulit membuka percakapan ringan dengan Julian. Pria itu memiliki wawasan yang luas, sehingga menyenangkan rasanya untuk bertukar pikiran dengan Julian. Sudah lama Alicia tidak bertemu dengan lawan bicara yang tanpa ragu beradu argumentasi dengannya. Yang terakhir Alicia ingat, adalah diskusinya bersama dosen pembimbingnya untuk skripsi. 
Alicia begitu terlarut dengan percakapannya, membuat gadis itu tak sadar sudah berapa jam yang terlewat hingga Leon bergabung dengan mereka.
"Well, you two look like in your own world. Something interesting?" tanya Leon. Julian merasa mata sepupunya menatapnya dengan tatapan menyelidik, menunjukkan pandangan tidak sukanya. Namun senyum sang sepupu segera mengembang ketika menatap gadis itu. Ia menawarkan segelas berisi anggur putih kepada Alicia.
 Alicia menyambut gelas tersebut, meneguknya sampai habis, baru kemudian menjawab pemuda itu dengan manja, "nothing much hun..." 
Leon tak dapat menahan diri untuk mengacak-acak rambut Alicia yang membuat sang gadis mendelik kesal ke arah Leon yang sayangnya diabaikan pria itu. Alicia baru menyadari kalau malam telah larut, Sheila dan Adrian bahkan sudah pulang duluan entah sejak kapan. Penasaran, Alicia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan setengah 12 malam. 
"Well guys, sorry, but I need to go home now." Ujar Alicia, berpamitan pada teman-temannya.
 "It’s still early. Does something wrong? It's weekend right?" tanya Erick, heran. Tak biasanya Alicia pulang lebih awal.
 "Well, besok ada rapat dengan presdir, kalau tak salah terkait supervisor baru di kantor." Jelas Alicia.
 "Let me take you home. I hope my dad doesn't make it difficult for you, hun..." Ucap Leon saat Alicia meninggalkan meja itu.
 Alicia memang bekerja di perusahaan milik papanya Leon, karena itu pula mereka bisa bertemu awalnya. Alicia menggeleng sambil tersenyum, "I just hope he doesn't make another appointment on Saturday morning next time," jawab gadis itu tertawa kecil. 
"Julian, take this!" ujar Leon sambil melempar kunci mobilnya. Julian menangkap benda itu dengan gerakan tangkas, pemuda itu balas melemparkan tatapan heran.
 "Just go home whenever you want. I'll take the taxi." Ujar Leon, menangkap raut bingung Julian. Namun kalimat itu tidak membantu Julian sama sekali. Ia tak akan mengira kalau Leon akan membiarkannya menyetir Lamborghini kesayangannya. Leon? Lagipula sejak kapan Leon menggunakan jasa taxi? Biasanya pria itu paling anti menggunakan kendaraan umum. Julian menatap Leon curiga, namun tatapan itu tidak disadari karena sepupunya itu tengah asik menggoda wanita manis dalam dekapannya. Mereka berdua segera menghilang dari tempat itu tanpa memberi kesempatan bagi Julian untuk bertanya. Menghela nafas, Julian menyerah. Sepupunya itu tidak pernah berubah.
 Mata Julian masih menatap ke arah di mana Alicia dan sepupunya terakhir terlihat sampai akhirnya Julian merasa seseorang sedang berbicara padanya. 
"Julian, lebih baik kau bergabung sama kita daripada bengong begitu." Julian menoleh. Erick dan beberapa yang lain -well, sejujurnya Julian tidak mengenali mereka- sedang bermain poker. Tertarik, Julian memutuskan untuk bergabung.
 “Bingung dengan peraturan poker ini?” tanya Erick di tengah permainan mereka. 
“Ah, tidak. Hanya saja aku baru tahu Leon sudah tak terlalu terobsesi dengan mobilnya. As long as I remember, Leon is not someone who’ll take taxi home.” 
Erick tertawa, membuat Julian sedikit merasa kesal. Menyadari itu , Erick berkata, “I don’t think your cousin will back tonight. Ah, I’ll hold.”
 “I thought Leon and Alicia aren’t dating...” 
“Memang tidak, mereka memang tidak pacaran. Ku rasa kau sudah tau kalau Leon bukan tipe yang mau terikat dengan wanita, dan Alicia pun demikian.” Jelas Erick. 
“Alicia? Well, she looks like an independant woman to me but.. wait, I’ll go all in.” 
Erick terkejut melihat kartu Julian, susunan rapih royal flush. Pemuda itu tampak canggung di awal game, poker face yang ditunjukkannya benar-benar sempurna. Bahkan sampai Erick sendiri tertipu. 
“But?” “Well, you know...” ditanya langsung dengan Erick malah membuat Julian canggung. “Apakah kau merasa sayang kalau wanita seperti Alicia sia-sia kalau bersama Leon?”
 Tepat sasaran, pertanyaan Erick berhasil mendeskripsikan apa yang ada di pikiran Julian. Walau bersyukur karena Julian tidak perlu menjelaskan panjang lebar, tapi Julian juga merasa Erick bisa dengan mudah membaca pikirannya. Sedikit banyak, membuat Julian merasa was-was.
 “Well, not exactly like that...” tetap saja harga diri Julian tidak membiarkan pemuda itu mengakui mentah-mentah apa yang dipikirkannya.
 “Like what?” tanya Erick meminta penjelasan sambil tersenyum. Senyuman yang membuat Julian merasa sedang diejek oleh teman sepupunya itu.
 “Nothing.” “Are you sure it’s nothing?” pancing Erick lagi. “Yes.” Ujar Julian sambil meletakkan susunan kartunya, a full house, mengakhiri permainan itu dengan kemenangan lain. Menang 2x berturut-turut membuat Leon mulai merasa bosan. Lagipula, ia juga tak berminat untuk melanjutkan pembicaraan dengan Erick, sehingga ia memutuskan untuk undur diri dari tempat itu. 
. 
“Tadi itu sepupu Leon bukan? Dibandingkan dengan Leon, ia terlalu kaku.” Ujar salah satu orang di meja itu
 “Tapi harus diakui permainan pokernya luar biasa! Untuk bagian itu, aku rasa itu satu-satunya kesamaan mereka.” ujar yang lainnya diiringi tawa yang lain.
 “Hei hei, kalian salah kalau kalian berpikir begitu. Lihat saja, Leon dan Julian memiliki banyak sekali kesamaan, membuat keduanya tidak akur.” Ucap Erick, sukses membuat yang lain terdiam. 
“Mereka tidak akur? Tidak tampak sama sekali” komentar seseorang bingung. 
“Kesamaan apa?” tanya yang lainnya lagi.
 “Kau yakin, Erick?” Kini giliran Erick yang tertawa melihat ekspresi bingung teman-temannya. Mengabaikan mereka, ia meninggalkan tempat itu tanpa menjawab pertanyaan yang ada. 
“Let’s see, something interesting might be happend later.”
 . 
. 
. 
To be continue~

Senin, 02 Oktober 2017

Para Penyebar Hoax

“Yaa, terserahlah ce, aku kan cuma nyebar. Masalah benar atau tidak itu merupakan tanggung jawab yang bikin postingan.” Yap, kalimat inilah yang ku dapat sebagai balasan ketika sedang mengingatkan seorang teman kalau postingannya yang di-share di salah satu media sosial kemungkinan besar merupakan hoax. Jawaban ini membuatku tertegun. Bagaimana bisa seseorang menjawab demikian? Pikirku. Aku sadar kalau sah-sah saja kalau ia ingin berpendapat, dan menuangkan pendapatnya dalam bentuk membagikan tulisan yang dinilainya dapat mewakili pendapatnya. Apalagi jika ada unsur emosi yang terlibat, entah karena perasaan tidak senang dengan kebijakan yang ada ataupun sebab lainnya. Tapi perlu diingat bahwa SALAH kalau berfikir ‘dosa’ itu hanya pada orang yang membuat hoax. Dengan membagikan (men-share) sebuah postingan, bukankah sama saja dengan orang tersebut mengamini apa yang tertulis di postingan tersebut sekaligus meyakini kalau postingan itu benar, dan juga penting untuk diketahui orang lain. Iya kalau postingan itu memang benar, kalau salah? Tidakkah itu sama saja dengan menyesatkan orang lain? “Lha, kan saya cuma membagikan. Saya pun berarti disesatkan oleh si pembuat postingan dong...” Ya bener sih, kalau dipikir berarti kita juga korban hoax. Tapi apa itu berarti kita dibenarkan untuk menyebarkan hoax? TIDAK. Tidak ada satu alasanpun yang bisa membenarkan kita menyebarkan hoax. Ibarat dendam karena ditipu, apa lantas balas menipu itu dibenarkan? Tentu tidak. Yang didapat hanyalah kepuasan emosional semu yang sebenarnya sia-sia “Sekedar share kan buat jaga-jaga aja.” Kalimat ini juga kadang sering kali jadi kalimat pembelaan buat orang-orang yang males ngecek kebenaran sebuah pesan, terus emosian langsung deh di share. Info yang salah bisa mengarah ke khawatiran yang tidak perlu. Seperti sebelumnya, pernah ada pesan di aplikasi chatting yang mengklaim berasal dari NASA kalau akan ada badai matahari (atau semacamnya) yang mempengaruhi perangkat elektronik maka seluruh perangkat elektronik perlu dimatikan. Kalau dipikir sepintas, mungkin tidak ada bahayanya pesan ini. Toh cuma mematikan perangkat elektronik selama beberapa jam, bukan masalah besar. Tapi sadarkah kita bagi beberapa orang bisa menanggapi ini dengan rasa cemas yang berlebihan, yang mungkin saja tetap merasa tidak aman meskipun seluruh perangkat elektronik yang dimilikinya sudah dimatikan, terus ujung-ujungnya ga bisa tidur hanya gara-gara berita itu, yang ternyata tidak benar. Apa ngga kasian? Tindakan jaga-jaga = tindakan pencegahan, tapi apakah itu berarti tanpa mengecek keberannya? Anda tahu jawabannya :) Menurut saya pribadi, ya intinya bukan di orang lain, tapi di diri kita sendiri. Urusan orang lain mau membuat berita bohong atau tidak, tapi tugas kita yaitu memastikan kebenaran sebuah berita sebelum menyebarkannya kepada orang lain. Karena kita bertanggung jawab dengan apa yang kita bagikan di media sosial, karena dengan menyebarkan hoax berarti kita tak berbeda dengan pembuat hoax itu sendiri. 02.10.2017 FA

Anggur Merah untuk Makan Malam -part 01-

Genre : romance, drama, psycological
.
 Rate : adult
 Warning
 - materi cerpen untuk dewasa! 
- bagian percakapan dwibahasa
. 
Part one-- ...